September 2, 2012

Korban pemerasan yang memang suka diperas

Di blog entry sebelumnya saya bercerita tentang praktek korupsi di kelurahan dan kecamatan.
Nah sesudah kejadian usaha pemerasan ini saya bercerita kepada teman-teman saya. Intinya saya bilang kepada mereka, eh, ternyata bisa koq ngurus dokumen tanpa keluar uang sepeserpun.

Tanggapan mereka yang negatif cukup mengejutkan.

Salah satu teman bilang,"Kenapa ga lo tawar aja? Lo itu kan orang bisnis, harusnya lo bisa mikir untung rugi, bisa forward thinking. Ntar gara-gara lo belagu, kedepannya dipersulit. Lo kan harusnya bisa menempatkan diri. Harus banyak belajar deh lo tuh."

Saya bengong. "Loh, kenapa saya harus menawar kalau memang sesuai hukum seharusnya bebas biaya?"
"Saya harus banyak belajar apa? Mendukung praktek korupsi?" Dan bagaimana pegawai pemerintahan itu bisa mempersulit saya jika saya mengetahui undang-undang yang berlaku dan juga hak dan kewajiban saya sebagai warga.

Teman satu lagi bilang,"Yaah, 100.000 doank, bayar aja lah, daripada ngotot-ngototan. Bukannya duit gede toh. Pelit amat deh lo. Lagian lo kan cina, kudu pinter nempatin diri donk sebagai minoritas. Udah biasalah kalo ngurus gituan mah pasti pake duit". FYI, dia cina juga.

Saya jadi berpikir, pantas saja budaya korupsi berkembang subur di Indonesia. Lah wong yang dipalak aja demen dipalak.. Malah saya yang ga mau dipalak yang diomelin. Haha.
Agak miris deh tapi.. Ok, kalau yang dipalak itu orang yang kurang tingkat edukasinya masih wajar, tapi teman-teman saya kan ngakunya lulusan luar, S2 lagi.

Saya menyalahkan ignorance, kemalasan, zona nyaman/ kebiasaan, inferioritas, ketakutan yang memicu budaya "demen dipalak" ini.

1. Ignorance
Saya yakin teman-teman saya ini mungkin bahkan tidak tahu persyaratan dan tata cara pembuatan dokumen, apalagi dasar hukumnya. Selama ini pake duit, semua jadi.

2. Kemalasan
Males repot. Kalo pake duit bisa kelar ngapain repot ribut? Cuma Rp 100.000 ini.

3. Kebiasaan
Saking biasanya jadi sesuatu yang benar. Mayoritas melakukan hal ini, jadi kalau kita tidak mengikuti, kita salah deh pasti. Toh itu sesuatu yang biasa koq.

4. Inferioritas
Jaman gini masih merasa inferior sebagai suku tertentu? Maaf saja, kita punya hak yang sama sebagai warga negara. Lagipula bukan hanya yang sipit koq diperas, pegawai saya yang Sunda juga diperas.

5. Ketakutan
Kita memang bangsa Bediende. Bangsa budak, penurut, takut pada otoritas. Bahkan pada otoritas yang menyalahgunakan kekuasaan. Tidak mempunyai keberanian untuk mendobrak, kita memenjarakan diri sendiri.

Jadi intinya, kita protes, berteriak-teriak saat diperas. Tetapi kita juga tidak melakukan apapun untuk melawan. Malahan kita mencaci maki orang yang tidak tinggal diam dan berenang melawan arus.
Tidak heran bukan bila korupsi di negara ini bisa begitu suburnya. Ada demand, ada supply. Ada yang memeras, ada yang suka diperas.

Saya memperhatikan, banyak TKI dan TKW yang diperas oleh petugas imigrasi di airport, tapi tidak ada yang pernah mencoba memeras saya. Kenapa? Karena saya tahu apa yang saya lakukan dan saya tidak mau diperas. Tidak ada yang bisa melakukan itu jika kita tidak membiarkan dan tidak merasa diri layak menjadi korban pemerasan.


"Tidak ada yang dapat membuat kita merasa inferior tanpa seijin kita." - E. Roosevelt


Keras tetapi benar, teman, adalah fakta bahwa budaya atau kebiasaan itu belum tentu sebuah kebenaran. Hanya karena semua orang melakukan dan menerima hal itu tidak menjadikan itu sesuatu yang benar.



Sungguh, saya mengerti perasaan si monyet baru yang mencoba menaiki tangga. Tapi tidak peduli bagaimanapun, saya tidak akan berhenti mencoba menaiki tangga itu.
Ah, enaknya jadi beda... :D


No comments: