May 10, 2011

Menggugat Tuhan

1. Tentang Limit/batas pegas

Kita selalu mempersonifikasi Tuhan sebagai bapak yang baik. Ijinkan aku menggugat. Menurutku ada dua kalimat yang kontradiktif. Dalam doa Bapa Kami, ada baris yang berbunyi Jadilah kehendakMu. Dalam Matius 7:7: "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.

Rasanya ini tidak komplit. Alangkah lebih baiknya jika ditulis: Mintalah maka akan diberikan kepadamu (jika Aku berkenan).

Kilas balik singkat. Saat aku kecil, aku meminta sesuatu dengan sepenuh hati kepada Tuhan, terus menerus. Tidak dikabulkan. Tidak masalah, terus bersyukur dan meminta. Tetap tidak dikabulkan. Kenapa? Ada yang berkata padaku,"Ini masalah hubungan. Orang tua mana yang mau anaknya hanya meminta tanpa mencintai balik? Kamu hanya meminta, seperti sebuah hubungan dagang" Aku menjawab,"Saat itu aku tidak hanya meminta, aku pun bercerita dan mencinta. Aku hanya sesosok anak kecil berusia 7 tahun, tidak mengerti konsep hubungan dagang. Mungkin sekarang, tapi dahulu, tidak. Dan orang tua macam apa yang mengharapkan cinta timbal balik dari anaknya yang masih bayi? Bukankah seharusnya kamu menyusui anak bayimu tanpa pamrih, tanpa mengharap dia mencintai kamu dulu."

Sampai aku melewati sebuah titik dimana aku menjadi apatis. Terjadilah kehendakNya tanpa aku perlu meminta lagi.

Mari bermain metafora.
Aku sebagai anak ayahku meminta sebuah handphone seri terbaru. Oleh ayahku diberilah aku sebuah walkie talkie. Karena dia berpendapat aku hanya butuh walkie talkie. Benar. Dan kamu mungkin akan bilang,"Udah syukur dikasih." Tidak salah. Disini aku belajar mensyukuri dan make do dengan apa yang aku punya. Terima kasih. Beberapa tahun lagi aku minta mobil BMW X5, karena aku tahu ayahku kaya. Diberinya aku sepeda ontel. Ya sudah, udah syukur bisa menggelinding. Terima kasih.

Aku minta laptop, disuruhnya aku bekerja part time. Ok, terima kasih sudah mengajarkan arti uang. Tapi setiap manusia punya batas, point of no return. Ada pegas yang bila ditekan terus akan melenting. Aku didorong dan ditekan sampai pada titik dimana aku berpikir aku akan bekerja sendiri untuk beli laptop, mobil dan handphone yang aku mau. Dan saat aku sudah earn uangku sendiri, aku tidak akan minta lagi dari ayahku. Aku tidak akan menuduh bahwa ayahku bukan ayah yang baik. Dia ayah yang unik, mengajarkanku tentang arti kerja keras. Tapi dia juga memaksaku untuk jadi seseorang yang mandiri. Dan karena cara didiknya yang keras, aku tidak akan dekat dan meminta lagi. Bila ayahku kenal aku dan ingin aku bermanja kepadanya, dia seharusnya tahu limit dan point of no returnku.

Analogi lainnya. Aku sekolah di luar negeri. Saat aku butuh uang dan menelpon ayahku yang kaya, aku tidak pernah dikirimi uang. Jangan salahkan aku jika setelah aku bekerja keras dan sanggup memenuhi kebutuhanku sendiri, aku tidak lagi meminta kepada ayah.
Aku tidak benci ayahku. Aku tahu dia punya reasonnya sendiri. Tapi ayahku juga tidak bisa berharap bahwa aku akan meminta dan mengetuk pintunya lagi. Seorang ayah yang mengerti anaknya luar dalam akan tahu batas pegas anaknya.

2. Tentang otoritas

Rakyat tidak akan punya hubungan yang hangat dengan pemerintah otoriter.

"Terjadilah kehendakMu" ini bukti dari otoritas dan kewenangan Tuhan. Dan sangat banyak misteri yang disembunyikan Tuhan dari kita manusia, terbukti dari banyaknya pertanyaanku yang belum terjawab. Sebuah hubungan yang sehat terbentuk dari cinta dan komunikasi. Apakah memang ini yang Tuhan mau? Sebuah hubungan yang terbentuk karena submission dan ketakutan akan otoritas?

atau cinta seperti yang diberikan seorang anak kecil kepada orang tuanya? Cinta yang ada karena selalu disirami kasih sayang dan perasaan terlindungi. Tapi setiap anak yang terlindungi pun akan tumbuh dewasa, akan bertanya,"Kenapa?". Apalagi seorang anak yang dibesarkan dengan didikan keras. How to stop a child from growing up? Dan seiring dengan perkembangan, akan ada waktu untuk komunikasi antar dua pihak dewasa. Disini aku merasakan tekanan otoritas Tuhan. Aku boleh tumbuh dewasa tapi aku tetap diberikan pakaian bayi. Jika memang Tuhan suka aku sebagai sesosok bayi, then just stop me from growing up. Bukankah Tuhan omnipoten? Jika Ia ingin aku bertumbuh, maka tolong sediakanlah pakaian seorang dewasa untukku. Definisi cinta setiap manusia berbeda. Untukku cinta dua orang dewasa bisa lebih indah daripada cinta seorang anak karena mereka mencinta melalui pergumulan hati, dialog, pengenalan, penerimaan, kedewasaan, bukan hanya taking things for granted.

Ibaratnya aku sebagai anak bertanya,"Mama, kenapa langit itu biru? Kenapa 1+1=2? Kenapa turun hujan?" Mamaku hanya menjawab,"Hus, anak kecil tidak perlu tahu. Belum waktunya" Lalu kapan waktunya? why didn't u even try? Ada anak-anak lain yang puas dengan jawaban itu dan berpikir,"Yah, mungkin aku memang masih kecil. Tidak perlu tahu kenapa langit itu biru. Mama benar." Tapi tidak demikiannya dengan aku. Dengan karakterku, aku akan mencari tahu, entah darimana. Bila aku tidak lagi berkomunikasi dan bertanya pada mama yang otoriter dan selalu menganggap aku anak kecil, sedihnya jika itu salahku juga. Bukankah anak adalah produk orang tua?

Subordinasi ke otoritas, mungkin bisa.
Tapi komunikasi? lain cerita.

No comments: