September 2, 2012

Mentalitas Korupsi Indonesia

Kemarin saya ke kelurahan dan kecamatan setempat untuk mengurus surat domisili perusahaan dan surat PM1/ surat pengantar. Saya perlu dokumen2 ini untuk aplikasi Surat Ijin Usaha di kantor walikota.

Sesuai mentalitas dan budaya korupsi kita, oleh pegawai kelurahan, saya diminta untuk membayar biaya "administrasi' sebesar Rp 300.000.
Berhubung saya sudah mendapat informasi dari kantor walikota Jakarta Pusat bahwa pengurusan surat-surat ini bebas biaya, saya menolak untuk membayar biaya tidak jelas ini dan berusahalah mereka mempersulit saya.

Ibu pegawai kelurahan : Mbak, untuk mengeluarkan surat keterangan domisili ini Mbak harus melampirkan akte dari notaris ABC, surat ini dan itu.
Saya kebetulan sudah membaca persyaratan aplikasi dokumen yang saya butuhkan di buku tata hukum pemda DKI Jakarta sehingga saya dapat menjawab bahwa dengan neraca dibawah sekian ratus juta dan investasi dibawah limit tertentu, saya tidak diwajibkan melampirkan akte notaris, surat ini dan itu.
Ibu pegawai kelurahan : Masa sih? Saya baru dengar tuh.
Saya : Iya Bu. Memang begitu hukumnya sesuai pasal sekian. Atau Ibu bisa langsung kontak Kanwil pusat untuk konfirmasi.

Ibu pegawai kelurahan pun diam dan mengeluarkan dokumen yang saya minta. Masuklah saya ke kantor lurah untuk mengemis tanda tangan beliau yang mahal :)

Pak wakil lurah, Sarjana sosial : Mbak tahu kan, dokumen ini ada biayanya?
Saya : Tidak tahu tuh, Pak. Saya diberi tahu oleh kantor walikota sih tidak ada biayanya.
PWL S.Sos : Iya memang, tapi saya tidak enak sama yang kerja disini, karena kita kan ada target bulanan,  bla bla
Saya : Pak, saya kan warga masyarakat yang membayar pajak. Dokumen ini adalah hak saya. Dan jika memang saya harus bayar, saya minta tanda terima resmi. Lagipula teman saya yang jurnalis Kompas dan sering meliput ke kelurahan dan kecamatan lain bersama KPK juga bilang bahwa dokumen ini tidak terkena biaya apa-apa.
PWL S.Sos : ...... (diam, menandatangani dokumen saya). Ya udah, ini cap diluar sana ya Mbak.
Saya : Iya. Terima kasih ya pak. 

Selesai di kelurahan, lanjutlah saya ke kecamatan.

Terulanglah kejadian yang sama, saya dimintai biaya administrasi oleh mbak pegawai kecamatan yang masih muda dan cantik.

Si mbak cantik : Ini, bu. Sudah dicap dokumennya. Tolong dilunasi biaya administrasi sebesar Rp 100.000
Saya : Bayar ya, mbak? Kata kantor walikota pusat harusnya bebas biaya loh
Mbak cantik : Ada biayanya koq Bu.
Saya : Ok mbak. Tapi saya mau lihat daftar retribusi resminya ya Mbak, sama tanda terima dengan kop resmi.
Mbak cantik : Ya sebenarnya ini bukan biaya administrasi resmi sih Bu.. Ini zakat yang nantinya akan ditransfer ke rekening kantor walikota.
Saya : Oh, Zakat ya Mbak? Kalau begitu suka rela donk ya? Kebetulan nih Mbak, besok saya mau mengurus surat ke Kanwil. Saya bayar zakatnya langsung disana saja ya Mbak." (sambil senyum maniiiiis)
Mbak cantik : Iya bisa Bu. (senyum kecut)
Saya : Terima kasih, Mbak. (cabut dari tempat kejadian perkara)

Sebut saya idealis, tapi saya tidak mau tunduk pada budaya korupsi disini. Saya membayar pajak sesuai kewajiban saya, menyuapi para pegawai pemerintahan bukan kewajiban saya.

Yang lebih miris lagi adalah fakta bahwa para pegawai pemerintahan ini benar-benar tidak pandang bulu dalam memeras warga. Salah satu pegawai saya bercerita bahwa ia selalu diperas oleh pegawai kelurahan tiap kali mengurus surat, bahkan saat dia mengurus surat keterangan tidak mampu. Bayangkan, jelas-jelas maunya mengurus surat keterangan tidak mampu yang artinya ya dia tidak mampu, koq masih diperas? Aih Indonesia..

Tapi saya cukup optimis deh sama masa depan Indonesia. Saat saya mengurus dokumen di tingkat birokrasi yang lebih tinggi seperti kantor dirjen pajak, kantor walikota, kantor imigrasi, komdak, tidak ada pungutan biaya liar tuh :) Saya tidak tahu apakah hal ini karena adanya kesadaran pribadi atau karena sorotan media. Apapun alasannya, hasilnya menyenangkan :)




2 comments:

Anonymous said...

Betul Ibu, yang seperti itu memang nyebelin, kalau perlu direkam dan dipublish aja di youtube seperti kata pak Ahok...

Anonymous said...

memang seharusnya, warga juga bisa mencari info sebelumnya sebelum datang ke kelurahan atau kecamatan setempat, supaya bisa menjawab apabila ada tarikan tarikan siluman. sayangnya masyarakat kita tidak semuanya berhadapan langsung dengan dunia internet untuk bisa mencari info yang jelas. salut buat ibu yang bisa bikin pegawai "pemalak" terdiam tanpa mendapatkan uang